Blog Archive

Tuesday, 21 November 2017

PERKAWINAN ADAT BATAK MANDAILING



Diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah:
Hukum Adat


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN 2017


BAB I
PENDAHULUIAN
A.           Latar Belakang
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antara pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antara pribadi yang biasanya intim dan seksual. Umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan dengan tujuan membentuk keluarga.Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada ayat (1)  menyebutkan:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”[1]
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan suku adat istiadat, perbedaan ciri khas, watak, dan kebiasaan setiap suku daerah menjadikan faktor utama mengapa Indonesia dikatakan negara yang sangat kaya adat istiadat budaya dibandingkan dengan negara-negara lain. Dengan adanya perbedaan tersebutlah pemerintah maupun masing-masing individu dituntut untuk menjaganya baik dari menghindari perselisihan maupun dari segi pematenanya.
Dari banyaknya macam-macam adat istiadat di Indonesia maka banyak pula perbedaan yang terjadi diantara suku satu dengan yang lainya, perbedaan dalam menjalani kehidupan masing-masing sampai dalam melaksanakan pernikahan. Dengan latar belakang tersebut, maka penulis merasa perlu untuk mengkajinya menjadi sebuah makalah dangan rumusan masalah sebagaimana berikut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sistem dan tatacara  pernikahan adat dalam masyarakat Batak Mandailing?.
BAB II
PEMBAHASAN
A.           BATAK MANDAILING
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk mengindentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli, Sumatra Utara. Suku bangsa yang dikatagorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, nBatak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, Batak Mandailing. Sebagian besar orang Batak menganut Agama Islam dan sebagian lagi beragama Kristen. Dan ada pula yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme, walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Batak Mandailing merupakan nama suku bangsa yang mendiami sebagian Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal Sumatra Utara, yang juga dikatagorikan sebagai bagian dari suku Batak yang mempunyai banyak dialek bahasa,Suku mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Manailing mengenal marga. Marga marga di Mandailing antara lain: Babiat, Dabuar, Baumi, Dalimunthe, Dasopang, Daulay, Dongoran, Harahap, Hasibuan, Hutasuhut, Lubis, Nasution, Pane, Parinduri, Pasaribu, Payung, Pohan, Pulungan, Rambe, Rangkuti, Ritonga, sagala, Simbolon, Siregar, Tanjung.[2]
B.            SISTEM PERKAWINAN DALAM MASYARAKAT BATAK MANDAILING
Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam suku dan budaya.  Sebagai negara yang ber-idiologikan pancasila, keragaman tersebut juga turut dijamin dalam UUD 1945.[3] Adanya jaminan serta pengakuan tersebut, menjadikan tata cara dan pelaksanaan upacara pernikahan tiap suku berbeda satu sama lain. Bahkan keunikan yang ditampilkan oleh tiap suku (dalam upacara pernikahan) menjadi kearifan lokal bagi tiap wisatawan.
Perkawinan adalah penyatuan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk saling setia satu sama lainnya dalam hidup bersama secara sukarela.[4] Perkawinan memiliki sifat kesakralan yang tidak hanya sekedar membentuk rumah tangga dan keluarga. Lebih dari itu, etnis batak mandailing memandang bahwa perkawinan itu suci, perpaduan hakikat kehidupan antara laki-laki dengan perempuan menjadi satu.
Kesakralan yang diyakini oleh etnis batak mandailing ternyata berdampak pada ketatnya aturan serta ketentuan yang mesti ditaati oleh setiap anggota kelompoknya. Dalam tulisan ini akan disinggung beberapa ketentuan etnis batak mandailing dalam melaksanakan pernikahan, diantaranya: perkawinan semarga, upacara perkawinan, perceraian, dan harta perkawinan.
C.           PERKAWINAN SEMARGA
Dalam kehidupan etnis batak mandailing, perkawinan mungkin saja terjadi atas mufakat orangtua yang berkenalan tanpa ada hubungan dekat diantara mereka, biasanya bertujuan untuk melanggengkan persahabatan diantara keduanya. Selain itu, prilaku ini diyakini mampu meminimalisir pelanggaran adat yang mungkin saja dilakukan keturunannya secara tidak sengaja; terutama dalam hal perkawinan semarga. Perkawinan semarga menurut adat batak mandailing tidak dibenarkan.[5] Secara sederhana, semarga bermakna satu marga (bangsa), satu asal garis keturunan yakni bapak. Perkawinan semarga tidak diperbolehkan dikarenakan tidak ada  jalur adat yang dapat atau berhak menyelesaikannya.
Menurut paham ilmu ethnologi dilihat dari keharusan dan larangan mencari calon isteri bagi setiap pria, maka perkawinan itu dapat berlaku dengan sistem endogami dan sistem exogami yang kebanyakan dianut oleh masyarakat adat bertali darah, dan atau dengan sistem eleutherogami sebagaimana berlaku dikebanyakan masyarakat adat, terutama yang banyak dipengaruhi hukum Islam. Di lingkungan yang sebagian besar menganut agama Kristen, masih mempertahankan susunan kekerabatan yang sifatnya asymmetrisch connubiumi, maka sistem yang dianut adalah exogami, dimana seorang pria harus mencari calon isteri di luar marga (klen-patrililinial) dan dilarang kawin dengan wanita semarga.
Untuk memperjelas pemahaman, berikut dilampirkan skema larangan pernikahan semarga:
 










Ditanah batak Mandailing,  peranan orang tua dalam mencarikan jodohatau menyetujui perkawinan anaknya sangatlah penting,  maka ia harus berunding dengan saudara-saudara semarga (dongan tubu), saudara-saudara perempuan dari ayah yang telah bersuami (boru) dan lain-lain. Akan tetapi faktanya dikemudian hari telah banyak dijumpai pelanggaran terhadap ketentuan larangan perkawinan semarga.  hal tersebut merupakan keniscayaan sebagaimana yang diungkapkan Soerjono Soekanto:
“Perubahan-perubahan diperlukan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia disuatu kelompok masyarakat, yang dapat diketahui dengan adanya kecendrungan-kecendrungan tertentu, sebagai pertimbangannya ialah tidak adanya masyarakat yang stagnan”.[6]

D.           UPACARA PERKAWINAN BATAK MANDAILING
Perkawinan berdasarkan adat berarti berlangsungnya perkawinan tersebut tidak bertentangan dengan norma-norma adat yang berlaku (perkawinan secara wajar). Upacara perkawinan dalam adat batak mandailing merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan mulai dari pra-upacara hingga pasca-upacara perkawinan.
1.             Pelamaran dan pertunangan
a.             Manyapai Boru. Masa pendekatan masih menjadi proses penting dalam kelanjutan sebuah hubungan,  Dalam adat Batak Mandailing pun mengenal masa pendekatan yang disebut manyapai boru.
b.             Mangairirit Boru. Merupakan tahapan dimana orang tua mempelai pria akan mencari tahu seluk-beluk sang wanita idaman anaknya tersebut. Hal ini penting guna menghindari kekeliruan dan penyesalan dikemudian hari; diantaranya akibat pelanggaran adat.
c.             Padamos Hata. Sekali lagi, keluarga pria menyambangi rumah kediaman wanita untuk mendapatkan jawaban. Dalam ritual ini pula akan dibahas kapan waktu yang tepat untuk melamar, serta syarat apa saja yang harus disanggupi pihak keluarga pria.
d.             Patobang Hata.Inti dari seremoni ini adalah untuk memperkuat perjanjian antara dua belah pihak, keluarga mempelai wanita dan keluarga mempelai pria. selain itu akan dibicarakan berapa sere yang akan diantar pada prosesi selanjutnya.
e.             Manulak Sere. Sesuai kesepakatan,  pihak keluarga pria datang bersama kerabat yang berjumlah 10-15 orang untuk mengantarkan sere atau hantaran. Barang hantaran yang diberikan di antaranya silua (oleh-oleh) dan batang boban (berupa barang berharga).
2.             Upacara Perkawinan Adat batak Mandailing
a.             Mangalehen Mangan Pamunan. Seorang gadis yang akan dinikahi kelak akan ikut bersama suami meninggalkan rumah orang tuanya. Maka sebelum melepas kepergian anak perempuannya itu diadakan makan bersama/ mangan pamunan.[7]
b.             Horja Haroan Boru.Seusai dilaksanakan pesta adat yang diselenggarakan di kediaman bayo pangoli, sebelum pergi meninggalkan kedua orang tuanya, boru na ni oli akan menari tor-tor sebagai ungkapan perpisahan.
c.             Marpokat Haroan Boru. Satu langkah sebelum pernikahan adat berlangsung, terlebih dahulu akan dimusyawarahkan (marpokat) membagi-bagi tugas sesuai prinsip dalihan na tolu yang terdiri dari kahanggi, anak boru, dan mora.
d.             Mangalo-Alo Boru Dan Manjagit Boru. Diarak dua orang pencak silat, pembawa tombak, pembawa payung, serta barisan keluarga pria dan wanita, terakhir iringan penabuh, kedua mempelai berjalan menuju rumah. Sesudahnya, kedua pengantin serta keluarga akan mangalehen mangan (makan bersama)menyantap makanan yang dibawa, dilanjutkan pemberian pesan dari tetua kepada kedua mempelai. Selesai memberi petuah, secara bersama-sama rombongan akan menuju ke rumah suhut (tempat pesta).
e.             Panaek Gondang. Pada prosesi ini akan dimainkan gordang sambilan yang sangat dihormati masyarakat Mandailing, maka sebelum dibunyikan harus meminta izin terlebih dulu. Dan setelah mendapat izin, gordang sambilan ditabuh seiring markobar (pembicaraan) yang dihadiri suhut dan kahangginya, anak boru, penabuh gondang, namora natoras dan raja-raja adat. Dalam prosesi ini pula diselingi tari sarama yang seirama dengan ketukan gordang sambilan. Serta manortor atau menari tor tor.
f.               Mata Ni Horja. Mata ni horja menjadi acara puncak yang diadakan di rumah suhut. Sekali lagi tari tor tor ditarikan oleh para raja, yang disusul oleh suhut, kahanggi, anak boru, raja-raja Mandailing dan raja panusunan.
g.             Membawa Pengantin Ke Tapian Raya Bangunan. Melaksanakan prosesi ini dipercaya dapat membuang sifat-sifat yang kurang baik ketika masih lajang. Dengan jeruk purut yang dicampur air, kedua mempelai akan dipercikan air tersebut menggunakan daun silinjuang (seikat daun-daunan berwarna hijau).
h.             Mangalehen Gorar (Menabalkan Gelar Adat)Maksud dari upacara ini adalah untuk menabalkan gelar adat kepada bayo pangoli. Sebelum diputuskan gelar apa yang cocok, harus dirundingkan terlebih dahulu. Gelar adat diperoleh mengikuti dari kakeknya dan bukan mengambil gelar dari orang tuanya.
i.               Mangupa. Inti dari prosesi ini dengan menyampaikan pesan-pesan adat kepada kedua mempelai, bayo pangoli dan boru na ni oli. Mangupa merupakan wujud kegembiraan telah usai seluruh rangkaian upacara adat, dan kedua mempelai pun telah sah menjadi sepasang suami istri di mata adat.



E.            PERCERAIAN
Berbicara perkawinan tidak dapat dipisahkan dengan adanya kemungkinan untuk terjadinya perceraian diantara kedua belah pihak yang telah melangsungkan perkawinan. Meskipun ada prinsip yang kuat: suatu perkawinan bukan hanya ikatan dua insan, akan tetapi ikatan dua keluarga besar. Kata cerai dikenal dengan sebutan “sirang” dengan arti memutus ikatan suami istriatau “dipaulak” artinya dipulangkan kepada kedua orangtua sang istri.
Sejatinya dalam adat batak mandailing, perempuan yang baru dipersunting memiliki penghormatan yang cukup besar. istri disebut pardijabu, yang arti harfiahnya orang yang diset mengurus rumah tangga. Ada yang menyebut istri sebagai paniaran, suatu kata halus dari pemberi nikmat. Dalam hubungan dengan keluarga besar, istri disebut boru ni raja, artinya putri raja (sesuai konsep dalihan na tolu). Ada lagi sebutan ripe, yang artinya siap (ready)orang yang mempersiapkan segala sesuatu.
Meskipun demikian, hal ihwal yang  dapat menyebabkan terjadinya perceraian  tidak dapat terelakkan, terlebih jika telah mendapati beberapa hal berikut: (1) tidak dikaruniai  anak, (2) perkawinan mereka merupakan hal yang ditabukan, akibat ikatan marga, dan (3) penyebab kekacauan hubungan struktur keluarga (sursar partuturon). 
Dalam sejarahnya, Nenek moyang orang Batak mandailing sangat jarang melakukan perceraian, meskipun mereka menganut poligami. Sudah menjadi kewajiban anggota keluarga untuk mengintervensi hubungan suami istri yang mengalami pertengkaran dalam rumah tangganya. Akan tetapi, sampai saat ini, sangat sulit menemukan suatu lembaga adat yang khusus menangani atau meminimalisir upaya perceraian pasangan suami istri.
F.            HUKUM WARIS ADAT BATAK MANDAILING
Dalam hukum waris  adat Mandailing akan dijelaskan hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan atau pengoperan dan peralihan atau perpindahan harta kekayaan materill dan non-materill dari generasi kegenerasi.[8]
Asas ahli waris utama dan pertama dari Batak Mandailing bahwasanya seperti masyarakat batak lainnya yang menganut paterineal hanya benar terhadap anak laki-laki (meskipun harta benda telah dibawakan kepada anak perempuan tidak boleh diabaikan).Dalam pewarisan dalam suku adat Mandailing bahwa hukum waris yang dipakai mencangkup 3 (tiga) yang diutamakan dalam adat Mandailing, yaitu (Imam Sudiyat. 1978):
1.             Pilihan Hukum
a.       Memakai hukum adat sebagai tombak pertama dalam menentukan waris.
b.      Memakai hukum Islam, sebab dalam suku Mandailing sudah memeluk agama Islam, maka mereka memakai hukum Islam dalam pewarisan.
c.       Memakai hukum konvensional/hukum nasional, sebab bila hukum adat dan hukum Islam tidak ingin dipakai maka mereka memakai hukum nasional.
Dalam suku Mandailing mengenai waris cepat-lambatnya orang memakai kata sepakat dalam pembagian harta itu tergantung dari faktor ekonomis dan religio-magis. Putra-putra Mandailing yang ayahnya mencapai sukses didalam hidupnya, ingin secepat mungkin memiliki pembagian di dalam harta pencarian almarhum; dengan pemilikan itu mereka akan turut menikmati sukses yang terkandung di dalam harta tersebut sebagai kekuatan gaib; sebaliknya, lading-ladang warisan kakek leluhur mereka misalnya akan mereka biarkan tetap tak terbagi seumur hidup.Waris utama pada kekerabatan Paterilineal khususnya suku Mandailing maka dalam hal ini terasakah adanya ketegangan antara tuntutan hak dari kesatuan keluarga dengan tuntutan hak dari kerabat tersebut yang ingin mewarisi harta kepada keluarga.

2.             Ahli Waris
Dalam pembagian warisan dalam suku mandailing yang memiliki waris di bagi atas 3 (tiga), yaitu (Imam Sudiyat. 1978):
1.             Anak laki-laki tertua
2.             Anak laki-laki termuda
3.             Anak laki-laki sulung dan bungsu
Hambatan dalam waris adat Mandailing adalah anak tidak mewarisi dari salah seorang di antara orang tertuanya yang instusional tetap tinggal dalam kerabatnya, sedangkan anak-anak tidak masuk di dalamnya. Dan suatu hambatan lain bagi anak di dalam terlaksana bersegi satu untuk mewarisi dari kedua orangtua, ialah bentuk perkawinan yang berakibat bahwa anak yang kawin dibebaskan dari panguyuban hidup kekerabatan. Contoh dimana anak perempuan dengan perkawinan keluar dari kerabat ayahnya, sehingga ia tidak dapat menuntut hak mawaris tanpa wasiat.[9]
Dan dalam Adat Mandailing yang sudah mengalami perubahan dikarenakan dalam adat tersebut sudah berbaur dengan agama. Sehingga dalam adat Mandailing hukum yang menetapkan dalam waris adalah memakai hukum Islam. Walaupun lebih banyak laki-laki yang mendapat waris seperti halnya hukum adat, namun dari pihak perempuan pun mendapat bagian dalam waris yang telah ditentukan dalam hukum Islam. Itulah sebabnya hukum adat mulai banyak dilupakan yang menyebabkan pergantian dalam adat Mandailing. 





BAB III
PENUTUP
A.           KESIMPULAN
Suku batak memiliki sistem kekerabatan patrilineal, yaitu kekerabatan yang di ambil berdasarkan garis keturunan ayah. Inilah yang menyebabkan semua orang batak mempunyai marga. Marga ini diturunkan secara turun temurun dari generasi pertama sampai kepada generasi yang sekarang. Marga ini pada awalnya adalah sebuah nama yang diberikan nenek moyang (orang batak pertama) kepada keturunannya dan digunakan secara turun-temurun ke generasi berikutnya sebagai suatu tanda bahwa dia adalah keturunannya. Oleh sebab itu sangat dilarang di dalam perkawinan batak apabila satu marga saling menikah karena itu dianggap menikahi adik atau anak sendiri.
Perkawinan yang paling dianggap ideal bagi suku batak apabila dia menikahi paribannya, yaitu seorang pria yang menikah dengan seorang perempuan dimana sang perempuan ini anak dari saudara laki-laki ibunya atau biasa disebut sebagai tulang. Dan sebagian besar dari rumah tangga orang batak bersifat monogami yaitu kondisi hanya memiliki satu pasangan pada pernikahan.
Sistem perkawinan adat yang dianut oleh suku batak mandailing, menjadi acuan bagi tiap pasangan suami istri yang ingin melangsungkan pernikahan. Tidak cukup sampai disitu, sistem tersebut memiliki konsekuensi yang musti dipertanggungjawabkan oleh setiap pasangan baik sebelum maupun setelah terjadinya ikatan perkawinan.
B.            SARAN
Adat merupakan kekayaan yang patut untuk dilestarikan, terlebih ketika adat telah menjadi kearifan lokal suatu daerah atau kelompok. Akan tetapi dalam perkawinan adat, diperlukan adanya suatu lembaga adat yang khusus menangani permasalahan dibidang perkawinan. Sebut saja perceraiaan yang secara umum kian marak dipraktikan oleh masyarakat adat, hal ini akan berdampak buruk (lunturnya kepercayaan) pada sistem adat yang semula dianut atau dipercayai.

DAFTAR PUSTAKA

Cut Nuraini, permukuman suku Batak Mandailing(Yogyakarta: Gajahmada University Press,2004)
Abdurrahman, masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni, 1978)
Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama Di Luar Negri: Kajian Filosofis, Yuridis, Prosedural, dan Sosiologis (Yogyakarta: Suka Press, 2014)
 Dj. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak.
Soerjono Soekanto,  Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan





[1] Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[2] Cut Nuraini, permukuman suku Batak Mandailing(Yogyakarta: Gajahmada University Press,2004), hlm. 17.
[3] . Abdurrahman, masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia (Bandung: Penerbit Alumni, 1978), hlm. 9.
[4] Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama Di Luar Negri: Kajian Filosofis, Yuridis, Prosedural, dan Sosiologis (Yogyakarta: Suka Press, 2014), hlm. 110
[5] . Dj. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak, hlm. 80
[6] . Soerjono Soekanto,  Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), hlm. 303
[7] http//.Prosesi%20Pernikahan%20Adat%20Batak%20Mandailing%20-%20Weddingku.com.htm
[8]http/. Perceraian dalam Konsep Budaya Batak _ TONA.htm.
[9].http//.MizukiAshiya%20%20Hukum%20Adat%20Perkawinan%20dan%20Waris%20Adat%20Mandailing.htm

3 comments:

  1. Bermanfaat sekali artikelnya :)

    Mau bikin mahar pernikahan yang exclusive, custom, elegan, dan moderen ?
    yuk klik : www.maharpernikahan.co.id

    vendor pnyedia jasa mahar dan seserahan exclusive.
    Instagram @maharnikah.katalog & @seserahannikah.katalog
    wa : 0812 3476 6565

    ReplyDelete
  2. HIS Graha Elnusa
    Menikah adalah tujuan dan impian Semua orang, Melalui HIS Graha Elnusa Wedding Package , anda bisa mendapatkan paket lengkap mulai dari fasilitas gedung full ac, full carpet, dan lampu chandeliar yg cantik, catering dengan vendor yang berpengalaman, dekorasi, rias busana, musik entertainment, dan photoghraphy serta videography. Kenyaman dan kemewahan yang anda dapat adalah tujuan utama kami. Hubungi : 0822 – 9914 – 4728 (Rizky)

    ReplyDelete
  3. Haloo, aku mau bagi pengalaman pernikahan kakakku. Jadi waktu itu kakakku dan pasangannya sibuk kerja kan jadi memang susah untuk ngurusin sendiri, nah karena kakakku nyari tempat pernikahan yang memang aksesnya mudah jadi dia nyari yang tengah2 dan ga terlalu macet. Akhirnya kakakku mutusin buat nikah di Elnusa, letaknya kalau ga salah di Tb.Simatupang deket Citos. Nah disana ternyata sudah ada paketan weddingnya juga dan sudah ada WOnya. Waktu itu kakakku dibantu sama Kak Ali, nah disana bener2 dibantuin dari awal sampe akhiir. Walaupun kakakku dan pasangannya sibuk kerja tapi urusan pernikahannya ga sampai keteteran karena bener2 dibantuin. Jadi disana itu udah semua2nya diurusin, kakakku tinggal ngurusin souvernir dan undangan aja. Bahkan ada Wedding Plannernya gitu yang mengatur jadwal kakakku untuk visit2 vendor dan testfood, jadi bener2 bikin kakakku ga pusing mikirin pernikahannya. Dari awal kakakku persiapan acara sampai akhir acara bener2 ga dilepas sama WOnya, dan hal itu ngebuat mamahku ga terlalu banyak ikut campur. Jujur Pelayanannya bener2 bagus, walaupun kakakku dan pasangannya kadang suka banyak maunya tapi tuh kayak diturutin terus gituu. Alhamdulillah keluargaku dan kakakku puas sih nikah di HIS Graha Elnusa. Kalo kalian berminat aku ada nih kontaknya yang waktu itu bantuin kakakku, namanya Kak Ali, nomornya 087884761964. Semoga bisa membantu kaliaan

    ReplyDelete